Menapak
tilas “Perjalanan Senja”, waktu jadi berlalu begitu cepat. Hari ini rasanya tak
sama lagi, semua sudah terasa berbeda. Tidak hanya waktu, tapi kini gemintang
nampak tak berjalar indah, memberantaki cakrawala malam ini.
Angin
bertiup jauh. Hembusannya memecah di ujung kulit. Berjarak. Jarak yang tak
berani kutempuh. Hanya senja, semilirmu tetap merdu, selalu. Sama seperti waktu
lalu, saat aku mengunjungimu di sini, tepat di tempat ini. Tapi hembusan angin
malam ini begitu membekukan ujung logika. Ah... mungkin ini yang namanya
bahagia. Yang selama ini tak kukenali, atau aku yang telah sengaja tak ingin
mengenali, pura-pura tak mengenali? Oh, mungkin aku hanya lupa kalau selama ini
mengenalinya.
Hai...
Kusapa
kamu kembali, tepat di bulan ke empat dan malam ke dua puluh delapan. Di saat
bulan tak sesempurna malam saat aku menyapamu terdahulu.
Kali
ini aku sudah tak mencari jati diri saat bertemu denganmu. Namun itu tak
berarti aku sudah selesai dengan pemikiran liarku. Berharap hembusan angin juga
mendatangkan jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang bahkan sampai saat ini belum
tersentuh titik masalahnya.
Semenjak
memutuskan untuk pamit terasa lebih berat untuk dilaksanakan padahal
konsekuensi pertemuan adalah perpisahan. Sedang aku dipaksa untuk perpisahan
dini. Iya, karena “Ironi sebuah Larangan”, seperti yang terdahulu.
Kehidupan
ini laksana gemuruh pantai, yang indah namun menakutkan, yang menakutkan namun
memberi kehidupan. Senja, di sini, aku berdiri dengan kakiku sendiri, tak henti
mencari makna yang tak pernah tersirat dan tak pernah tersuratkan. Sebuah makna
larangan antara perbedaan suku, adat, ras, dan agama.
Kehidupan
ini, senja. Mungkin kau lebih tahu. Seperti buih yang besar, melawan resapan
karang menuju bibir pantai. Melewati segala perasaan...
Sakit,
kecewa, ketakutan, harapan, keindahan dan berujung keceriaan yang entah tak
terdefinisikan.
Kau
tahu, perjalanan ini bahkan tak ada dalam rencanaku. Tapi kehidupan membawaku
di tempat yang sama. Kembali, mengalah pada kenyataan, tergerus ironi sebuah
larangan.
Sedang
angin semakin menggoyah daun-daun, lalu aku harus berujar apa?
Jika
takdir telah menentukan.
Dan
lagi, catatan ini berakhir dengan diksi “terima kasih”
Terima
kasih Tuhan sebab telah menghadirkan pemaknaan perbedaan serta larangan di
garis hidupku hingga berulang.
Gimana gaesss cerpennya, layak untuk dinikmati? Jangan lupa sertakan kritik dan saran kalian yak. Dan pastikan kalian update terus postingan-postinganku berikutnya :-)