BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam
adalah agama yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik
aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang sangat penting
adalah bidang muamalah (ekonomi Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah
sangat banyak dan berlimpah, jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para
ulama tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fiqih mereka
dan halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka.
Namun
dalam waaktu yang panjang, materi muamalah cenderung diabaikan kaum muslimin,
padahal ajaran muamalah bagian penting dari ajaran Islam, akibatnya terjadilah
kajian Islam parsial (sepotong-sepotong). Padahal orang-orang beriman
diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh).
Disisi
lain bahwa tuntutan global untuk kasus Ekonomi berbasis syariah sekarang adalah
sedang booming, rame-rame seluruh bentuk company yang bergerak dibidang bisnis
financial terkemuka di dunia mengadopsi sistem syariah untuk menjadi sistem
unit usaha mereka. Tidak begitu pula halnya, ketimpangan yang timbul adalah
adanya Gap antara user SDM pengguna sistem syariah yang terus berkembang
mengalami kekurangan stok SDM yang dianggap mampu dalam bidang syariah ini. Hal
ini terjadi karena para ahli fiqih yang mendalam dalam hukum-hukum muamalah
tidak ahli di bidang ekonomi dan begitu pula sebaliknya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
URGENSI
FIQIH MU’AMALAH
Fiqih menurut bahasa berarti
pemahaman. Adapun pengertian menurut istilah, fiqih ialah suatu ilmu yang
mempelajari bermacam-macam syariat atau hukum islam dan berbagai macam aturan
hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk
masyarakat sosial.
Sedangkan
pengertian mu’amalah adalah segala bentuk kegiatan transaksi serta perilaku
manusia dalam kehidupannya. Mu’amalah adalah sesuatu hal yang penting maka
dengan mempelajari fiqih mu’amalah diharapkan setiap muslim dalam beraktifitas
khususnya dalam bidang perekonomian mampu menerapkan aturan-aturan Allah dalam
rangka memperoleh, mengembangkan dan memanfaatkan harta, sehingga kebahagiaan
dunia dan akhirat akan tercapai sebagaimana tujuan muslim pada umumnya yang
senantiasa memohon doa tersebut kepada Allah.
Dengan
demikian fiqih mu’amalah dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang kegiatan
transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat (yang bersumber dari al-Quran
dan hadits), mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari
dalil-dalil syariat secara terperinci.
Dalam
pengertian yangg lebih rinci, fiqih mu’amalah adalah hukum Islam yang mengatur
hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, yang bertujuan untuk
menjaga hak-hak manusia, merealisasikan keadilan, dan persamaan antara individu
dalam masyarakat (kemaslahatan) serta menjauhkan segala kemudaratan yang akan
menimpa mereka.
B.
DASAR
DAN PRINSIP-PRINSIP FIQIH MU’AMALAH
1.
Prinsip
Dasar
a. Hukum
asal dalam mu’amalah adalah mubah (diperbolehkan)
b. Konsep
fiqih mu’amalah untuk mewujudkan kemaslahatan
c. Menetapkan
harga yang kompetitif
d. Meninggalkan
Intervensi yang dilarang
e. Menghindari
eksploitasi
f. Memberikan
kelenturan dan toleransi
g. Jujur
dan amanah
2.
Prinsip
Umum
a. Ta’awun
(tolong menolong)
b. Niat/
itikad baik
c. Al-muawanah/
kemitraan
d. Adanya
kepastian hukum
Setelah
mengenal prinsip-prinsip dalam fiqih mu’amalah, ada prinsip dasar yang harus
dipahami dalam interaksi ekonomi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan
tiap kali seorang muslim akan berinteraksi ekonomi. Kelima hal ini menjadi
batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih
dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maissir,
Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
a. Maisir,
sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang bisa
untung atau bisa rugi.
b. Gharar,
setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam
kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya, membeli
burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam
kandungan induknya termasuk dalam transaksi bersifat gharar.
c. Haram,
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksinya menjadi
tiddak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
d. Riba,
yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah antara lain dalam transaksi pertukaran
barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan.
e. Bathil,
dalam melakukan transaksi prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada
kedzaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat.
C.
RUANG
LINGKUP DAN CABANG-CABANG FIQIH MU’AMALAH
Ruang
lingkup fiqih mu’amalah meliputu seluruh kegiatan mu’amalah manusia berdasarkan
hukum-hukum Islam baik berupa perintah maupun larangan-larangan hukum yang
terkait dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Secara
global ruang lingkup pembahasan fiqih muamalah, adalah sebagai berikut:
1. Hukum
benda: konsep harta, konsep hak, dan konsep tentang hak milik.
2. Konsep
umum akad: pengertian akad, unsur-unsur akad, macam-macam akad.
3. Aneka
macam akad transaksi muamalah: jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan
lain-lain.
Sedangkan
cabang-cabang fiqih mu’amalah antara lain:
1. Hukum
yang mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya, baik yang
menyangkut aturan sipil, perdagangan, keluarga, gugatan, hukum dan lain
sebagainya. Contoh: pembahasan tentang harta, baik dari aspek cara mendapatkan
dan mendistribusikannya, maupun dari aspek hakekat dan konsep kepemilikan dalam
Islam. Pembahasan tentang akad atau transaksi, hukum keluarga.
2. Hukum
yang mengatur hubungan pribadi dengan negara (Islam), serta hubungan bilateral
antara negara Islam dengan negara lain.
D.
FATWA
KONTEMPORER
1. Hukum
Penitipan Uang di Bank
Mengenai hukum penitipan uang di bank
dan bunga yang diambil, apakah ia
termasuk riba sehingga hukumnya haram dan memakannya mendapatkan dosa? Ataukah,
pada zaman ini bunga bank dapat diterima, dengan alasan uang di bank lebih aman
dan lebih terjamin dibanding jika disimpan di rumah atau dititipkan di
perseroan-perseroan dagang, yang mungkin berakibat pada hilangnya uang tersebut
atau menimbulkan kerugian. Sedangkan, bank memberikan bunga yang telah
ditentukan dan terjamin. Uang tersebut juga berada di tempat yang aman.
Keuntungannya juga telah ditentukan dan diketahui oleh kedua pihak, pihak bank
dan pemilik uang.
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, lembaga-lembaga fiqih islam di
negara-negara Arab dan dunia islam telah sepakat bahwa bunga bank adalah riba
yang diharamkan. Mulai dari lembaga riset Islam Al-Azhar yang muktamarnya
diadakan di Kairo pada tahun 1965, dipimpin oleh Imamul Akbar Syekh Hasan
Makmun dan dihadiri oleh utusan dari 35 negara. Dalam keputusannya meenyatakan
bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan. Keputusan ini didukung oleh
lembaga fiqih ikatan Negara-negara Islam di Mekah Mukarramah. Juga didukung
oleh lembaga fiqih Islam yang berada di bawah OKI (Organisasi Konferensi Islam)
yang mewakili negara-negara Islam.
Konferensi-konferensi Islam tentang ilmu
pengetahuan umum juga menguatkan hal tersebut. Misalnya, konferensi
internasional pertama tentang Ekonomi Islam yang diadakan di Mekah pada tahun
1996, yang dihadiri sekitar 300 ilmuan dan spesialis ddalam bidang syariat dan
ekonomi. Kemudian konferensi internasional tentang fiqih islam pertama yang
diadakan di Riyadh. Juga konferensi-konferensi tenatng bank Islam yang diadakan
di Dubai, Kuwait, Istambul, Kairo, Islamabad, dan sebagainya, semua menguatkan
bahwa bunga bank adalah riba.
Ini merupakan konsensus para ulama dan
ilmuan Islam pada zaman ini dan tidak dapat dibantah lagi. Secara umum, umat
Islam menerima konsensus ini dan bank-bank Islam merupakan alternatif sebagai
pengganti bank-bank konvensional.
Adapun keamanan dan jaminan mutlak yang
ditawarkan oleh bank konvensional melalui bunga, adalah ide orang-orang Yahudi
kapitalis yang bertentangan dengan logika dan realita. Karena di dalam hidup
ini, tidak ada sesuatu yang terjamin secara mutlak seperti umur, kesehatan,
masa depan, masa muda dan harta. Padahal di dunia, hal-hal inilah yang paling berharga.
Teori Islam mengatakan bahwa uang tidak
melahirkan uang, tapi yang melahirkan uang hanyalah pekerjaan. Barangsiapa yang
tidak bekerja dengan tangannya sendiri, maka dengan uangnya ia bergabung dengan
orang-orang yang bekerja, dan bersama-sama mendapatkan keuntungan atau
menenggung kerugian. Jika hanya satu pihak yang mendapatkan keuntungan, maka
ini tidak adil dan bukan merupakan wujud dari kebersamaan dalam tanggung jawab.
Sesungguhnya bank
konvensional adalah rentenir (lintah darat) terbesar pada zaman sekarang. Siapa
pun yang ingin memperoleh harta yang halal, maka harus menjauhi bank-bank
konvensional ini dan melakukan transaksi dengan bank-bank Islam. Walaupun dalam
praktiknya terkadang terjadi hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, tetapi
yang menanggung dosanya adalah para pelakunya. Itu pun hanya terbatas, tidak
sebesar bank-bank konvensional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar