Jumat, 14 Desember 2018

MAKALAH NUSYUZ, SYIQAQ, DAN HAKAMAIN



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I      PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A.    Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C.     Tujuan .................................................................................................... 1
BAB II    PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A.    Nusyuz
1.      Pengertian Nusyuz ........................................................................... 2
2.      Dasar Hukum Nusyuz ...................................................................... 2
3.      Macam-Macam Nusyuz dan Cara Penyelesaiannya ......................... 4
4.      Implikasi Hukum yang Ditimbulkan ................................................ 7
B.     Syiqaq
1.      Pengertian Syiqaq ............................................................................ 8
2.      Dasar Hukum Syiqaq dan Cara Penyelesaiannya ............................ 8
3.      Implikasi Hukum ynag Ditimbulkan ................................................ 10
C.     Hakamain
1.      Pengertian Hakamain ....................................................................... 10
2.      Syarat-Syarat Hakamain .................................................................. 10
3.      Tugas dan Wewenang Hakamain ..................................................... 11
BABIII    PENUTUP .................................................................................................. 12
      Kesimpulan .................................................................................................. 12
DAFTAR  PUSTAKA ............................................................................................... iii





BAB I
PENDAHULULUAN

A.    Latar Belakang
Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana di dalamnya hanya terdiri dari suami, istri dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti menginginkan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah yang di dalamnya pasti terdapat kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun berada di luar rumah. Dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat pada umumnya di zaman sekarang seperti yang sering kita lihat dan pernah kita dengar dari mana-mana bahkan media yang ada, sepertinya banyak sekali keluarga yang mengalami perceraian. Di antara perceraian tersebut meliputi berbagai macam faktor salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara suami istri, biasanya istri tidak menerima akhirnya terjadilah nusyuz (pembangkangan) seorang istri kepada suaminya. Biasanya perselisihan seperti ini dilatarbelakangi adanya suatu kecurigaan dan tidak ingin bermusyawarah sebelumnya. Dan akhirnya suami istri tersebut bertengkar dan berselisih sehingga terjadilah perceraian.
Melihat fenomena tersebut, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan tentang konsep nusyuz, syiqaq, dan hakamain.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian nusyuz dan dasar hukumnya?
2.      Bagaimana bentuk/macam-macam nusyuz dan cara penyelesaiannya?
3.      Apa pengertian syiqaq dan dasar hukumnya?
4.      Bagaimana cara penyelesaian syiqaq?
5.      Apa pengertian, syarat, serta tugas-tugas hakamain?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan informasi mengenai Nusyuz, Syiqaq, dan Hakamain kepada rekan-rekan pembaca pada umumnya dan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Fiqh Munakahat pada khususnya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Nusyuz
1.      Pengertian Nusyuz
Nusyuz secara bahasa (etimologi), berarti meninggi atau terangkat. Istilah nusyuz ini diambil dari kata al-nasyaz yang berarti bagian bumi yang tinggi. Adapun menurut terminologis, nusyuz dimaknai dengan tidak tunduknya istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.[1]
Menurut fuqaha Hanafiyah, secara terminologis mendefinisikannya dengan ketidaksenangan yang terjadi di antara suami istri. Ualama mazhad Maliki, berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami istri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, nusyuz adalah perselisihan di antara suami istri, sementara itu ulama Hambaliyah, mendefinisikannya dengan ketidaksenangan dari pihak sitri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.[2]
Menurut Slamet Abidin dan Aminuddin, secara terminologis nusyuz berarti durhaka. Maksudnya, seorang istri melakukan pebuatan yang menantang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syarak. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ke tempat tidurnya.[3]
Dan sebagai kesimpulannya, nusyuz adalah suatu fenomena yang sebenarnya berasal dari perempuan, tetapi ada kalanya juga ditimbulkan dari laki-laki, walaupun bisa jadi berawal dari keduanya dengan saling menuduh  dan saling menghujat terhadap salah satunya.
2.      Dasar Hukum Nusyuz
Dasar hukum nusyuz, sebagaimana Allah menjelaskan dalam firman-Nya pada surat An-Nisaa’ ayat 34:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita saleh, ialah yang taat kepada Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirjan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan. Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Ayat ini sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang nusyuznya istri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyuz istri tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaiiannya saja yang ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan ayat tersebut, yaitu:
1.      Kepemimpinan rumah tangga
2.      Hak dan kewajiban suami istri
3.      Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh istri
Terdapat ayat lain juga yang biasa dikutip ketika membicarakan persoalan nusyuz yaitu firman Allah surat An-Nisaa’ ayat 128:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ  
Artinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.”
Ayat diatas sering dikutip sebagai dasar tentang nusyuznya suami, walaupun pada realitanya maupun dalam literatur-literatur kajian fiqih persoalan tentang nusyuznya suami kurang mendapat perhatian dan jarang menjadi objek kajian secara khusus.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan mengenai persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah. [4]
3.      Macam-Macam Nusyuz dan Cara Penyelesaiannya
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan nusyuznya suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara penyelesaiannya. [5]
a.       Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk nusyuz, misalnya:
1)       Suami menyediakan rumah yang sesuai dengan kemampuan suami, tetapi istri tidak mau pindah ke rumah tersebut. Atau istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami.
2)       Penolakan istri ketika suami mengajak berjima’ tanpa adanya alasan yang syar’i.
3)       Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.[6]
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan berikut:
1)      Menasehati
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya, serta mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya, dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.
2)      Berpisah tempat tidur
Hal ini dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, dan meninggalkan pergaulan dengannya. Maksudnya yaitu suami tidak tidur dengan istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas bahwa hal itu berawal darinya.
3)      Memukul
Jika dengan berpisah tempat tidur istri belum memperlihatkan adanya perbaikan, maka suami berdasarkan boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta’dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti.
Bila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah telah dapat diselesaikan. Namun bila cara-cara di atas telah ditempuh tapi tidak berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak ada bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua orang hakam kepada suami istri tersebut. Seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya.
b.      Nusyuz Suami
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah maupun meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya menggauli istrinya dengan baik. Nusyuz suami pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu:
1)      Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami
2)      Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah istri.
3)      Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga
4)      Berbuat adil, apabila istri lebih dari satu.
Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah dalam surt an-Nisa ayat 128:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ  
Artinya: “Jika istri khawatir suaminya akan berlaku nusyuz dan berpaling, tidak ada salahnya jika keduanya melakukan perdamaian dalam bentuk perdamaian yang menyelesaikan. Berdamai itu adalah cara yang paling baik. Hawa nafsu manusia tampil dalam bentuk pelit. Bila kamu berbuat baik dan bertakwa maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.”
Maka cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), sebagai suatu solusi sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas adalah perundingan yang membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya. Akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami istri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
4.      Implikasi Hukum yang Ditimbulkan
Hukum berbuat nusyuz adalah haram karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya berhak atas dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri. Konsekuensi hukum akibat nusyuz istri terhadap suaminya adalah gugur kewajiban suaminya memberi nafkah kepada istri selama masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyuz itu tidak dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan. Dan apabila suaminya meninggal dunia, istri tidak mendapat warisan, terkecuali harta pembawaan sebelum terjadi akad nikah. Apabila seorang istri murtad, maka terputuslah hak untuk mendapat warisan, dan jika ada harta pembawaannya, tidak diwarisi namun diserahkan kepada baitul mal. Alasan dari semua itu adalah karena nafkah dan warisan merupakan nikmat Allah swt. Maka tidak dibenarkan mendapatkan dari jalan kedurhakaan dan kemaksiatan. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.


B.     Syiqaq
1.      Pengertian Syiqaq
Syiqaq mengandung arti perselisihan atau retak. Istilah syiqaq berasal dari bahasa Arab “syaqqa - yasyuqqu - syiqaaq”, yang artinya pecah, berhamburan. Sedangkan menurut istilah fiqih, syiqaq berarti perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya.[7]
2.      Dasar Hukum Syiqaq dan Cara Penyelesaiannya
Syiqaq merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh agama Islam untuk menyelesaikan pertengkaran yang terjadi dalam suatu keluarga. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah pada surat an-Nisaa’ ayat 35:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
Artinya: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Memerhatikan.”
Firman Allah tersebut menjelaskan, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri maka dianjurkan untuk mengutus seorang hakam dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan tujuan untuk menyelidiki dan mencari sebab musabab permasalahan antara keduanya, dan Allah meganjurkan agar pihak yang berselisih apabila memungkinkan untuk kembali membina rumah tangga (hidup bersama) kembail. Dan perlu diketahui, yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam surat An-Nisaa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No. 9 Tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum Islam: “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”[8]
Secara kronologis Ibnu Qudamah dalam menjelaskan langkah-langkah dalam menghadapi konflik tersebut, sebagai berikut:[9]
Pertama: hakim mempelajari dan meneliti sebab terjadinya konflik tersebut. Bila ditemui penyebabnya adalah karena nusyuz-nya istri, ditempuh jalan penyelesaian sebagaimana pada kasus nusyuz tersebut di atas. Bila ternyata sebab konflik berasal dari nusyuz-nya suami, maka hakim mencari seorang yang disegani oleh suami untuk menasehatinya untuk menghentikan sikap nusyuznya itu dan menasehatinya untuk tidak berbuat kekerasan terhadap istrinya. Kalau sebeb konflik timbul dari keduanya dan keduanya saling menuduh pihak lain sebagai perusak dan tidak ada yang mau mengalah, hakim mencari seorang yang berwibawa untuk menasehati keduanya.
Kedua: bila langkah-langkah tersebut tidak mendatangkan hasil dan ternyata pertengkaran kedua belah pihak semakin menjadi, maka hakim menunjuk seorang dari pihak suami dan seorang dari pihak istri dengan tugas menyelesaikan konflik tersebut. Kepada keduanya diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu atau kalau tidak mungkin menceraikan keduanya tergantung pendapat keduanya mana yang paling baik dan mungkin diikuti.

3.      Implikasi Hukum yang Ditimbulkan
Apabila dalam kasus syiqaq ini keduanya dapat berdamai maka salah atu hal yang terbaik dapat adalah dengan menceraikan keduanya, dan kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in, yaitu pernikahan yang putus secara penuh dan tidak memungkinkan untuk kembali lagi kecuali dengan mengadakan akad dan mas kawin baru tanpa harus dinikahi oleh pria lain sebelumnya.
C.    Hakamain
  1. Pengertian Hakamain
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti pendamai. Hakam adalah orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik itu dari keluarganya maupun dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan masalah/kasus.
  1. Persyaratan Hakamain
Syarat-syarat hakamain di antaranya sebagai berikut:
a.       Berlaku adil diantara pihak yang bersengketa
b.      Mengadakan perdamaian antara kedua suami istri dengan ikhlas
c.       Disegani oleh kedua pihak suami istri
d.      Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya, apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
Bagi kedua hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau cakap dengan hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan kedua pendamai ini dari keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Jika dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka hakim mengutus dua orang laki-laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami istri tersebut, yakni orang yang cakap dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan suami istri, dan dianggap mampu mendatangkan perdamaian di antara keduanya. Hakamain tersebut juga harus bebas dari pengaruh-pengaruh yang dapat merusak suasana dan mempersulit permasalahan. Mereka juga harus menjaga citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia keduanya.

  1. Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain yang juga sebagai mediator mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus bertindak dengan mempertimbangkan mashlahat, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Salamah bin Abdur Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i, Sa’id bin Jubair, Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Munzir.
Terkait wewenang hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari suami istri atau persetujuan hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan keduanya. Dan jika mereka memutuskan dengan pisah maka berarti talak ba’in.
Adapun ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil dari suami istri. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan menjatuhkan talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu kemudian hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak ba’in sesuai dengan yang ditetapkan hakamain. Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan putusan tersebut.
Baik atas pendapat golongan yang mengatakan hakam berkedudukan sebagai wakil atau sebagai hakim, keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan syara’ yaitu keduanya harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil. Ini adalah syarat umum untuk yang bertindak bagi kepentingan publik.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa tugas hakam adalah mencari jalan dami sehingga kemungkinan perceraian dapat dihindarkan. Namun bila menurut pandangan keduanya tidak ada jalan lain kecuali cerai, maka keduanya dapat menempuh jalan itu.[10]





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang disajikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Nusyuz dimaknai dengan tidak tunduknya istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya. Hukum berbuat nusyuz adalah haram karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi. Seperti yang dijelaskan dalam QS. An-Nisaa’ ayat 34 dan ayat 128.
2.      Nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan nusyuznya suami. Untuk nusyuz istri, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara menasehatinya, berpisah tempat tidur, dan memukulnya. Namun bila dengan ketiga cara tersebut masalah belum dapat terselesaikan baru diperbolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian. Sedangkan untuk nusyuz suami, penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), sebagai suatu solusi perundingan yang membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya.
3.       Syiqaq adalah perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Dasar hukum syiqaq adalah QS. An-Nisaa’ ayat 35.
4.       Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.
5.       Hakamain adalah orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik itu dari keluarganya maupun dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan masalah/kasus. Syarat hakamain yaitu keduanya harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil.


[1]               Prof. Dr. Amir Syafruddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana Group, 2011). hlm.190
[2]               http://free-makalah.blogspot.com/tinjauan-umum-tentang-nusyuz.html.  (diakses tanggal 15 Mei 2017)
[3]               Prof. Dr. H.M.A. Tihami dan Drs. Sohari Sahrani. Fikih Munakahat; Kajian fikih nikah lengkap. (Jakarta: Rajawali Grafindo Pers, 2009). hlm. 185
[4]               http://www.suduthukum.com/dasarhukum-fiqih-munakahat.html. (diakses tanggal 15 Mei 2017)
[5]               Prof. Dr. Amir Syafruddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Op., Cit. hlm. 192-193
[6]               Dr. Mmustofa al-Khin, dkk. Fiqih Syafi’i Sistematis. (Semarang: As-Syifa, 1987) hlm. 325
[7]               Dr. H. Abd. Rahman Ghazali, MA., Fiqh Munakahat. (Jakarta: Kencana Group, 2006). hlm. 241
[8]              http://iluzajhamim.blogspot.com/makalah-nusyuz-dan-syiqaq.html. (diakses tanggal 15 Mei 2017)
[9]               Prof. Dr. Amir Syafruddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Op., Cit. hlm. 195
[10]             Prof. Dr. Amir Syafruddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Op., Cit. hlm. 196-197



DAFTAR PUSTAKA

Al-Khin, Mustofa, dkk. 1987. Fiqih Syafi’i Sistematis. Semarang: As-Syifa.
Rahman Ghazali, Abdul. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Group.
Syafruddin, Amir. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Group.
Tihami dan Sahrani, Sohari. 2009. Fikih Munakahat; Kajian fikih nikah lengkap. Jakarta: Rajawali Grafindo Pers.

URGENSI, PRINSIP DASAR DAN RUANG LINGKUP FIQIH MUAMALAH

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik aqi...