DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A. Nusyuz
1. Pengertian Nusyuz ........................................................................... 2
2. Dasar Hukum Nusyuz ...................................................................... 2
3. Macam-Macam Nusyuz dan Cara Penyelesaiannya ......................... 4
4. Implikasi Hukum yang Ditimbulkan ................................................ 7
B. Syiqaq
1. Pengertian Syiqaq ............................................................................ 8
2. Dasar Hukum Syiqaq dan Cara Penyelesaiannya ............................ 8
3. Implikasi Hukum ynag Ditimbulkan ................................................ 10
C. Hakamain
1. Pengertian Hakamain ....................................................................... 10
2. Syarat-Syarat Hakamain .................................................................. 10
3. Tugas dan Wewenang Hakamain ..................................................... 11
BABIII PENUTUP .................................................................................................. 12
Kesimpulan .................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... iii
BAB
I
PENDAHULULUAN
A.
Latar
Belakang
Keluarga
merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana di dalamnya hanya
terdiri dari suami, istri dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti
menginginkan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah yang di
dalamnya pasti terdapat kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun berada
di luar rumah. Dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat pada umumnya di
zaman sekarang seperti yang sering kita lihat dan pernah kita dengar dari mana-mana
bahkan media yang ada, sepertinya banyak sekali keluarga yang mengalami
perceraian. Di antara perceraian tersebut meliputi berbagai macam faktor salah
satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara suami istri,
biasanya istri tidak menerima akhirnya terjadilah nusyuz (pembangkangan)
seorang istri kepada suaminya. Biasanya perselisihan seperti ini
dilatarbelakangi adanya suatu kecurigaan dan tidak ingin bermusyawarah
sebelumnya. Dan akhirnya suami istri tersebut bertengkar dan berselisih
sehingga terjadilah perceraian.
Melihat
fenomena tersebut, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan
tentang konsep nusyuz, syiqaq, dan hakamain.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian nusyuz dan dasar hukumnya?
2.
Bagaimana
bentuk/macam-macam nusyuz dan cara penyelesaiannya?
3.
Apa
pengertian syiqaq dan dasar hukumnya?
4.
Bagaimana
cara penyelesaian syiqaq?
5.
Apa
pengertian, syarat, serta tugas-tugas hakamain?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk
memberikan pengetahuan dan informasi mengenai Nusyuz, Syiqaq, dan Hakamain
kepada rekan-rekan pembaca pada umumnya dan untuk memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Fiqh Munakahat pada khususnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Nusyuz
1.
Pengertian
Nusyuz
Nusyuz secara bahasa
(etimologi), berarti meninggi atau terangkat. Istilah nusyuz ini diambil dari
kata al-nasyaz yang berarti bagian bumi yang tinggi. Adapun menurut
terminologis, nusyuz dimaknai dengan tidak tunduknya istri terhadap suami dalam
hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.
Menurut fuqaha
Hanafiyah, secara terminologis mendefinisikannya dengan ketidaksenangan yang
terjadi di antara suami istri. Ualama mazhad Maliki, berpendapat bahwa nusyuz
adalah saling menganiaya suami istri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah,
nusyuz adalah perselisihan di antara suami istri, sementara itu ulama
Hambaliyah, mendefinisikannya dengan ketidaksenangan dari pihak sitri atau
suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.
Menurut Slamet
Abidin dan Aminuddin, secara terminologis nusyuz berarti
durhaka. Maksudnya, seorang istri melakukan pebuatan yang menantang suami tanpa
alasan yang dapat diterima oleh syarak. Ia tidak menaati suaminya atau menolak
diajak ke tempat tidurnya.
Dan sebagai kesimpulannya, nusyuz adalah suatu fenomena yang sebenarnya
berasal dari perempuan, tetapi ada kalanya juga ditimbulkan dari laki-laki,
walaupun bisa jadi berawal dari keduanya dengan saling menuduh dan saling menghujat terhadap salah satunya.
2.
Dasar
Hukum Nusyuz
Dasar hukum
nusyuz, sebagaimana Allah menjelaskan dalam firman-Nya pada surat An-Nisaa’
ayat 34:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya: “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita saleh, ialah yang taat kepada Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirjan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan.
Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Ayat ini sering
kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang nusyuznya istri terhadap
suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya
nusyuz istri tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses
penyelesaiiannya saja yang ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa
pemahaman mengenai kandungan ayat tersebut, yaitu:
1.
Kepemimpinan
rumah tangga
2.
Hak
dan kewajiban suami istri
3.
Solusi
tentang nusyuz yang dilakukan oleh istri
Terdapat ayat
lain juga yang biasa dikutip ketika membicarakan persoalan nusyuz yaitu firman
Allah surat An-Nisaa’ ayat 128:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ×öyz 3 ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
Artinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka
itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim.”
Ayat diatas
sering dikutip sebagai dasar tentang nusyuznya suami, walaupun pada realitanya
maupun dalam literatur-literatur kajian fiqih persoalan tentang nusyuznya suami
kurang mendapat perhatian dan jarang menjadi objek kajian secara khusus.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) aturan mengenai persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan
awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga
kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami
dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan istri dianggap nusyuz
jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri
tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.
3.
Macam-Macam
Nusyuz dan Cara Penyelesaiannya
Pada dasarnya
nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan nusyuznya suami.
Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara
penyelesaiannya.
a.
Nusyuz
Istri
Nusyuz hukumnya
haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia
tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena
adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan
perbuatan yang wajib dilakukan.
Adapun beberapa
perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk nusyuz, misalnya:
1)
Suami
menyediakan rumah yang sesuai dengan kemampuan suami, tetapi istri tidak mau
pindah ke rumah tersebut. Atau istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami.
2)
Penolakan
istri ketika suami mengajak berjima’ tanpa adanya alasan yang syar’i.
3)
Apabila
istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib,
seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya
termasuk maksiat.
Bagi suami,
jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku
istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan,
kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan
berikut:
1)
Menasehati
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah
dan takut kepada-Nya, serta mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada
suaminya, dan memberi pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan
membangkang terhadapnya, dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik
berupa nafkah dan lain-lain.
2)
Berpisah
tempat tidur
Hal ini dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat
tidur istri, dan meninggalkan pergaulan dengannya. Maksudnya yaitu suami tidak
tidur dengan istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya.
Jika istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia
kembali baik. Jika ia masih marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya
sehingga jelas bahwa hal itu berawal darinya.
3)
Memukul
Jika dengan berpisah tempat tidur istri belum memperlihatkan adanya
perbaikan, maka suami berdasarkan boleh memukul istrinya dengan pukulan yang
tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta’dib atau
edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan
yang menyakiti.
Bila dengan
pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah telah
dapat diselesaikan. Namun bila cara-cara di atas telah ditempuh tapi tidak
berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak ada
bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua
orang hakam kepada suami istri tersebut. Seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya.
b.
Nusyuz
Suami
Nusyuz suami
mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan
kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan
kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat
materi atau nafaqah maupun meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri
diantaranya menggauli istrinya dengan baik. Nusyuz suami pada dasarnya adalah
jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu:
1)
Memberikan
nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami
2)
Menyiapkan
peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti
alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah istri.
3)
Memberikan
rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga
4)
Berbuat
adil, apabila istri lebih dari satu.
Adapun tindakan
istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah dalam surt
an-Nisa ayat 128:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ×öyz 3 ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
Artinya: “Jika
istri khawatir suaminya akan berlaku nusyuz dan berpaling, tidak ada salahnya
jika keduanya melakukan perdamaian dalam bentuk perdamaian yang menyelesaikan.
Berdamai itu adalah cara yang paling baik. Hawa nafsu manusia tampil dalam
bentuk pelit. Bila kamu berbuat baik dan bertakwa maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.”
Maka cara
penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), sebagai suatu solusi
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas adalah perundingan yang membawa
kepada perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya. Akan
tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami istri harus menunjuk hakam dari
kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau
pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
4.
Implikasi
Hukum yang Ditimbulkan
Hukum berbuat
nusyuz adalah haram karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama
melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya
berhak atas dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga
merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri. Konsekuensi hukum
akibat nusyuz istri terhadap suaminya adalah gugur kewajiban suaminya memberi
nafkah kepada istri selama masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyuz itu tidak
dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan. Dan apabila suaminya meninggal
dunia, istri tidak mendapat warisan, terkecuali harta pembawaan sebelum terjadi
akad nikah. Apabila seorang istri murtad, maka terputuslah hak untuk mendapat
warisan, dan jika ada harta pembawaannya, tidak diwarisi namun diserahkan
kepada baitul mal. Alasan dari semua itu adalah karena nafkah dan warisan
merupakan nikmat Allah swt. Maka tidak dibenarkan mendapatkan dari jalan
kedurhakaan dan kemaksiatan. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh
melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami
tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
B.
Syiqaq
1.
Pengertian
Syiqaq
Syiqaq mengandung arti perselisihan atau retak. Istilah syiqaq
berasal dari bahasa Arab “syaqqa - yasyuqqu - syiqaaq”, yang artinya
pecah, berhamburan. Sedangkan menurut istilah fiqih, syiqaq berarti
perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah
berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Syiqaq adalah
krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga
antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak
yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya.
2.
Dasar Hukum Syiqaq dan Cara Penyelesaiannya
Syiqaq merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh agama
Islam untuk menyelesaikan pertengkaran yang terjadi dalam suatu keluarga. Hal
ini dijelaskan dalam firman Allah pada surat an-Nisaa’ ayat 35:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
Artinya: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara
keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Memerhatikan.”
Firman Allah tersebut menjelaskan, jika terjadi kasus syiqaq antara
suami istri maka dianjurkan untuk mengutus seorang hakam dari pihak laki-laki
maupun perempuan, dengan tujuan untuk menyelidiki dan mencari sebab musabab
permasalahan antara keduanya, dan Allah meganjurkan agar pihak yang berselisih
apabila memungkinkan untuk kembali membina rumah tangga (hidup bersama)
kembail. Dan perlu diketahui, yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut
adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik
keluarga tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, syiqaq
diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut
sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam surat An-Nisaa’ ayat 35.
Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam
penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No. 9 Tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP
No. 9 Tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum Islam: “antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Secara
kronologis Ibnu Qudamah dalam menjelaskan langkah-langkah dalam menghadapi
konflik tersebut, sebagai berikut:
Pertama: hakim mempelajari dan meneliti sebab terjadinya konflik tersebut.
Bila ditemui penyebabnya adalah karena nusyuz-nya istri, ditempuh jalan
penyelesaian sebagaimana pada kasus nusyuz tersebut di atas. Bila ternyata
sebab konflik berasal dari nusyuz-nya suami, maka hakim mencari seorang yang disegani
oleh suami untuk menasehatinya untuk menghentikan sikap nusyuznya itu dan
menasehatinya untuk tidak berbuat kekerasan terhadap istrinya. Kalau sebeb
konflik timbul dari keduanya dan keduanya saling menuduh pihak lain sebagai
perusak dan tidak ada yang mau mengalah, hakim mencari seorang yang berwibawa
untuk menasehati keduanya.
Kedua: bila langkah-langkah tersebut tidak mendatangkan hasil dan
ternyata pertengkaran kedua belah pihak semakin menjadi, maka hakim menunjuk
seorang dari pihak suami dan seorang dari pihak istri dengan tugas
menyelesaikan konflik tersebut. Kepada keduanya diserahi wewenang untuk
menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu atau kalau tidak mungkin
menceraikan keduanya tergantung pendapat keduanya mana yang paling baik dan
mungkin diikuti.
3.
Implikasi
Hukum yang Ditimbulkan
Apabila dalam
kasus syiqaq ini keduanya dapat berdamai maka salah atu hal yang terbaik dapat
adalah dengan menceraikan keduanya, dan kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah
bersifat ba’in, yaitu pernikahan yang putus secara penuh dan tidak memungkinkan
untuk kembali lagi kecuali dengan mengadakan akad dan mas kawin baru tanpa
harus dinikahi oleh pria lain sebelumnya.
C.
Hakamain
- Pengertian Hakamain
Hakamain
merupakan bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti pendamai. Hakam
adalah orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik itu dari
keluarganya maupun dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan masalah/kasus.
- Persyaratan Hakamain
Syarat-syarat
hakamain di antaranya sebagai berikut:
a.
Berlaku
adil diantara pihak yang bersengketa
b.
Mengadakan
perdamaian antara kedua suami istri dengan ikhlas
c.
Disegani
oleh kedua pihak suami istri
d.
Hendaklah
berpihak kepada yang teraniaya, apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
Bagi kedua
hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau cakap dengan
hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan kedua pendamai ini
dari keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak istri. Jika dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka
hakim mengutus dua orang laki-laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami
istri tersebut, yakni orang yang cakap dan mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan suami istri, dan dianggap mampu mendatangkan perdamaian di antara
keduanya. Hakamain tersebut juga harus bebas dari pengaruh-pengaruh yang dapat
merusak suasana dan mempersulit permasalahan. Mereka juga harus menjaga citra
suami istri tersebut serta menjaga rahasia keduanya.
- Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi
problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain yang juga sebagai mediator
mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus bertindak
dengan mempertimbangkan mashlahat, baik berupa tetap atau selesainya
pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini
pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Salamah bin Abdur Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i,
Sa’id bin Jubair, Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Munzir.
Terkait
wewenang hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama
Malikiyyah berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari
suami istri atau persetujuan hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan
keduanya. Dan jika mereka memutuskan dengan pisah maka berarti talak ba’in.
Adapun ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil dari suami
istri. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan menjatuhkan
talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu
kemudian hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak ba’in sesuai dengan yang
ditetapkan hakamain. Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan
putusan tersebut.
Baik atas
pendapat golongan yang mengatakan hakam berkedudukan sebagai wakil atau sebagai
hakim, keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan syara’ yaitu keduanya
harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil. Ini adalah
syarat umum untuk yang bertindak bagi kepentingan publik.
Dari penjelasan
tersebut jelas bahwa tugas hakam adalah mencari jalan dami sehingga kemungkinan
perceraian dapat dihindarkan. Namun bila menurut pandangan keduanya tidak ada
jalan lain kecuali cerai, maka keduanya dapat menempuh jalan itu.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian yang disajikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Nusyuz dimaknai dengan tidak tunduknya istri terhadap suami dalam
hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.
Hukum berbuat nusyuz adalah haram karena menyalahi sesuatu yang
telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan Hadis Nabi. Seperti yang
dijelaskan dalam QS. An-Nisaa’ ayat 34 dan ayat 128.
2. Nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan
nusyuznya suami. Untuk nusyuz istri, penyelesaiannya dapat
dilakukan dengan cara menasehatinya,
berpisah tempat tidur, dan memukulnya. Namun bila dengan ketiga cara tersebut
masalah belum dapat terselesaikan baru diperbolehkan suami menempuh jalan lain
yang lebih lanjut, termasuk perceraian. Sedangkan untuk
nusyuz suami, penyelesaiannya yaitu
dengan ishlah (perdamaian), sebagai suatu solusi perundingan yang
membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya.
3. Syiqaq adalah
perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah
berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Dasar hukum syiqaq
adalah QS. An-Nisaa’ ayat 35.
4. Ketika
permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu
dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.
5. Hakamain adalah orang yang dapat menjadi juru damai di antara keduanya baik
itu dari keluarganya maupun dari selainnya. Yakni seorang hakam dari pihak
suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan masalah/kasus.
Syarat hakamain yaitu keduanya harus telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan
bersikap adil.
DAFTAR PUSTAKA